Minggu, 30 Juni 2013

Positivisme Logis

POSITIVISME LOGIS
PENDAHULUAN

Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Positivisme Logis
Positivisme Logis merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Posivisme logis juga  merupakan suatu pandangan yang dikembangkan oleh kelompok Lingkaran Wina (Vienna Cicle). Pandangan yang dikembangkan kelompok ini disebut neopositivisme, atau sering juga dinamakan positivisme logis. Kaum positivisme logis memusatkan diri pada bahasa dan makna . Mereka mengklaim bahwa kekacauan kaum idealis dengan berbagai pendekatan metafisika yang digunakan dalam melihat realitas, adalah karena bahasa yang mereka pakai secara esensial tanpa makna. Sebagai penganut positivisme, secara umum mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman, namun secara khusus dan eksplisit pendirian mereka sebagai berikut; (a) mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; (b) mereka menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai nonsense; (c) berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan didalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified science); (d) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Disetiap minggunya kelompok ini berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak tahun 1922, dan berjalan terus hingga tahun 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1975), Otto Neurath (1882-1945), Victor Kraft, Victor Craft (1880-1975), Harbert Feigl (1902-  ) dan Rudolf Carnap (1891-1970).
Di antara para anggota lingkaran wina yang paling menarik adalah seorang filsuf yang bernama Rudolf Carnaf (1891-1970). Pengaruhnya atas filsafat dewasa ini dapat dibandingkan dengan Russell dan Wittgenstein. Ia pemikir yang sangat sistematis dan orisinil. Ia pernah mengajar dan menjadi guru besar di Chicago, Princeton dan University of California di los Angeles. Dengan tetap menyadari adanya pemikiran dalam kelompok kajian tersebut, pembahasan ini akan banyak difokuskan pada pemikiran Carnap.
B.     Sejarah Muncul
Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L.Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik. Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.
Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun engalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.
Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.

C.    Ajaran Pokok Positivisme logis
pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk mentukan kebenarannya ( atau kesalahannya ) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti : “ Yang tiada itu sendiri tiada” ( The nothing it self nothing- Das Nichts selbst nichest, Martin Heidegger ), “ yang mutlak mengatasi Waktu”, “ allah adalah Sempurna “, ada murni tidak mempunyai ciri “, pernyataan-pernyataan metafisik adalah semu. Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak bermakna.
Auguste Comte ( 1798-1857 ) ia memiliki peranan yang sangat penting dalam aliran ini. Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah.
Upaya-upaya kaum positivis untuk mentransformasikan positivisme menjadi semacam “agama baru”,cendrung mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Tetapi tekanan pada fakta-fakta, indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,dan upya untuk menjelaskan hukum-hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta,diterima dan de ngan cara berbeda-beda diperluas oleh J.S Mill ( 1806-1873 ).E.Mach (1838-1916 ), K.Pierson ( 1857-1936 ) dan P.Brdgeman ( 1882-1961 ).

Verifikasi dan Konfirmasi
Para filsuf pada Kelompok Lingkaran Wina pada umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Artinya jika pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti tidak bermakna. Prinsif verifikasi ini menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip ini, filsafat tradisional haruslah ditolak, karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman ,termasuk dalam teologi, dan metafisika pada umumnya.
Menurut carnap, ilmu adalah sebuah system pernyataan yang didasarkan pada pengalaman langsung, dan dikontrol oleh verifikasi experimental. Verifikasi dalam ilmu bukanlah pernyataan tunggal, tetapi termasuk system dan subsistem pernyataan tersebut. Verifikasi didasarkan atas “pernyataan protokol”. Istilah dipahami sebagai pernyataan yang termasuk protokol dasar atau catatan langsung dari suatu pengalaman yang langsung pula.
Carnap selanjutnya membedakan antara verifikasi langsung dan tak langsung. Apabila suatu pernyataan yang menunjukkan sebuah persepsi sekarang, seperti “sekarang saya melihat sebuah lapangan merah dengan dasar biru”, maka pernyataan ini dapt diuji secara langsung dengan persepsi kita sekarang. Pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara langsung dengan penglihatan, verifikasi carnap sangat menarik jika dilihat perbedaannya mengenai dua hukum dalam hukum alam, yaitu hukum empiris dan teoretis. Hukum empiris adalah hukum yang dapat dikonfirmasikan secara langsung dengan observasi-empiris. Istilah “observable” sering digunakan untuk banyak fenomena yang secara langsung dapat diamati. Dengan kata lain hukum empiris adalah hukum tentang sesuatu yang dapat dilihat. Sementara hukum teoretis adalah hukum abstrak karena ia merupakan hipotesis.
Menurut carnap, para fisikawan sepakat bahwa hukum yang berhubungan dengan tekanan, volume, dan temperatur suatu gas, adalah hukum-hukum empiris. Dilain pihak, prilaku dari molekul-molekul tunggal adalah hukum teoretis.hubungan kedua hukum ini digambarkan, bahwa hukum empiris membantu menjelaskan suatu fakta yang diamati dan untuk memprediksi suatu fakta yang belum diamati. Dan dengan cara yang sama, hukum teoretis membantu untuk menjelaskan perumusan hukum teoretis dan memberikan peluang untuk men-devirasi-kan sebuah hukum empiris yang baru.

          Eliminasi Metafisika
Bahwa dalam pandangan Lingkaran Wina, pernyataan bahwa metafisika, termasuk etika adalah tidak bermakna karena ia menyajikan proposisi yang tidak bisa diverifikasi, atau sebagai proposisi yang “pseudo-statements” menurut carnap, banyak penentang metafisika sejak dari kaum skeptis masa yunani hingga empiris abad ke-19 berpendapat bahwa bahwa metafisikan adalah salah, yang lain lagi menyatakan tidak pasti, atas dasar bahwa problem-problemnya mengatasi batas-batas pengetahuan manusia.
Carnap menggunakan logika terapan atau teori pengetahuan melalui cara-cara analisis logis untuk mengklasifikasi muatan kognitif pernyataan-pernyataan ilmiah dan makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pernyataan tersebut hingga diperoleh hasil positif dan negatif. Hasil positif dilakukan didalam didalam domain ilmu empiris; berbagai konsep dari bermacam-macam cabang ilmu yang diklarifikasi; hubungan-hubungan formal, logis dan epistimologisnya dibuat eksplisit. Didalam domain metafisika, termasuk semua filsafat nilai dan teori normatif, analisis logis menghasilkan hasil negatif bahwa pernyataan-pernyataan yang dinyatakan adalah tanpa makna. Atau dengan kata lain, serangkaian kata-kata adalah tanpa makna jika ia bukan merupakan pernyataan didalam bahsa spesifik.
Menurut carnap suatu pernyataan (statement) disebut sebuah “pseudo-statement” apabila ia melanggar aturan-aturan sintaksis logika dari pembuktian empiris. Suatu pernyataan metafisika harus ditolak atas dasar logika formal, karena ia melanggar aturan-aturan sintaksis logika, bukan karena subject-matternya adalah metafisis. Pernyataan metafisis harus ditolak karena metafisis, bertentangan dengan kriteria empiris.
Penolakan terhadap metafisika oleh carnap ditujukan pada persoalan verifikasi, yaitu bahwa pernyataan metafisika, tidak dapat menghindari diri dari pernyataan yang non-verifiable (tak dapat diverifikasi). Menurut Carnap, pernyataan-pernyataan metafisika menggunakan bahasa ekspresi, sehingga tidak dapat diverifikasi dan tidak dapat diuji dengan pengalaman. Carnap memang membedakan dua fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Dalam fungsi ekspresif, bahasa merupakan ungkapan atau pernyataan mengenai perasaan, sebagai ucapan keadaan hati, jiwa dan memiliki kecondongan baik tetap maupun sementara, untuk bereaksi.
Dari dua fungsi bahasa tersebut, menurut carnap, pernyataan-pernyataan metafisika hanya memiliki fungsi ekspresif, bukan fungsi representaif. Pernyataan metafisika tidak mengandung benar atau salah dari suatu, karena pernyataannya diluar diskusi kebenaran atau kesalahan. Menurut Carnap, sebuah pernyataan metafisis nampak seperti memiliki isi (content) dan dengan begitu tidak hanya pembaca dikelabui, tetapi juga para metafisikawan sendiri.
            Perpaduan Ilmu  (Unified Science)
            Kelompok Lingkaran Wina pada umumnya mencurahkan perhatiaanya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna dan pernyataan yang tidak bermakna berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Dengan prinsif verifikasi dan konfirmasi segera bisa dikenal, apakah suatu bahasa itu bermakna atau tidak; jika bermakna disebut ilmiah, jika tidak bermakna berarti tidak ilmiah. Dengan membuat distingsi ini, problem yang berkaitan dengan perbedaan dua ilmu, yakni ilmu kealaman dan kemanusiaan menjadi tidak menarik, bahkan perbedaan itu sendiri tidak ada.
Semua usaha dicurahkan untuk mewujudkan bahwa pernyataan-pernyataan (bahasa) semua ilmu pengetahuan bisa di ”terjemahkan” kedalam bahasa universal yang sama, Carnap adalah tokoh yang serius dalam masalah ini. Ia mencoba membuktikan bahwa setiap objek pengetahuan dapat didasarkan kepada pengalaman-pengalaman elementer pengenal. Setiap tingkatan bahasa sesuai dengan tingkatan objek-objek, dan urutan tingkatan sesuai dengan urutan dalam struktur pengenalan. Yang menjadi dasar seluruh konstruksi ini adalah tingkatan auto-psikologis.
Dengan demikian kalau bahasa pada tingkatan sosio-kultural didasarkan pada tingkatan psikologis, dan tingkatan psikologis didasarkan pada tingkatan ilmu-ilmu alam, maka dapat dirumuskan semua ucapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah yang mengungkapkan pengalaman-pengalaman elementer kita. Karena itu “bahasa” sedemikian rupa ini menjadi bahasa universal bagi semua ilmu pengetahuan dan tidak ada lagi banyak ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, tetapi hanya satu ilmu pengetahuan, yang diungkapkan dengan bahasa universal.
PENUTUP
KESIMPULAN
Positivisme logis merupkan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut Pistivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentng bahasa ilmu. Fungsi analisis ini,disatu pihak, mengurangi “ metafisika” (yaitu,filsafat dalam arti tradisional) dan di lain pihak meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.






















DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorenz, Kamus Filsafat penerbit Gramedia Pustaka Utama
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Belukar, 2004)



0 komentar:

Posting Komentar